Monday, February 18, 2013

Produktivitas dan Efisiensi Perbankan dalam Perspektif Manajemen Risiko

  I. PENDAHULUAN

Secara umum bank dapat didefinisikan sebagai sebuah badan usaha yang dalam aktivitas usahanya mengumpulkan dana dari masyarakat terutama dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito, serta menyalurkan kembali dana masyarakat tersebut ke dalam aktivitas ekonomi terutama dalam bentuk pemberian kredit. Kegiatan bank ini disebut sebagai fungsi intermediasi bank.

Dengan menelaah kepada fungsi bank tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwa perbankan memiliki fungsi yang cukup sentral di dalam sistem perekonomian suatu negara. Apabila perbankan memiliki kinerja yang optimal dalam menjalankan fungsi intermediasi maka tentunya akan mendorong kepada pertumbuhan ekonomi yang optimal pula, sebaliknya, maka pertumbuhan ekonomi tidak akan optimal. Hal ini antara lain disebabkan oleh ekses dana berbentuk Dana Pihak Ketiga (DPK) dari kelompok masyarakat yang surplus tidak tersalurkan kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan dana dalam bentuk kredit, melainkan hanya menjadi ekses dana dalam bentuk uang mengendap (idle money) yang disimpan di dalam sektor perbankan itu sendiri tanpa terpakai oleh sistem perkonomian khususnys sektor riil yang ada.

Guna memastikan bahwa perbankan memiliki kinerja yang optimal sebagai fungsi intermediasi, maka diperlukan upaya pengukuran terhadap aktivitas intermediasi ini. Produktivitas dan efisiensi merupakan salah satu parameter kinerja yang secara teoritis merupakan salah satu kinerja yang mendasari seluruh kinerja sebuah organisasi.

Jika dilihat dari asal katanya dalam bahasa Inggris, produktivitas (productivity) berasal dari kata produce yang berarti menghasilkan. Jadi produktivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan, atau tingkat hasil yang diperoleh organisasi. Sedangakn efisiensi (efficiency) merupakan perbandingan antara input (masukan) dan output (hasil antara keuntungan dengan sumber-sumber yang dipergunakan) (SP.Hasibuan (1984;233-4) yang mengutip pernyataan H. Emerson).

Terdapat beberapa indikator utama dalam hal efisiensi perbankan menjalankan fungsi intermediasi. Dalam mengulas efisiensi perbankan dalam konteks manajemen risiko ini penulis akan menggunakan beberapa indikator, antara lain rasio antara penyaluran dan penghimpunan dana (loan to deposit ratio), rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional, rasio pendapatan terhadap modal (return on equity), rasio pendapatan terhadap aset (return on asset), dan efisiensi penetapan harga suku bunga kredit.



II. FENOMENA INDUSTRI PERBANKAN

2.1. Indikator Kinerja Keuangan Perbankan

2.1.1. Kinerja Fungsi Intermediasi Perbankan

Berikut ini adalah data perbandingan antara penghimpunan Dana Pihak Ketiga dengan Penyaluran Kredit atau Loan to Deposit Ratio (LDR) Bank Umum di Indonesia secara tahunan periode 2005 s.d. 2010.

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa loan to deposit ratio pada akhir tahun 2010 adalah sebesar 75.5% dengan trend meningkat dalam periode 6 tahun terakhit. Namun demikian, mengacu kepada konsep intermediasi masih terdapat ketidak seimbangan antara penghimpunan DPK dengan penyaluran kredit, yang mana pada akhir tahun 2010 terdapat dana mengendap sebesar 24.5% dari total DPK atau sejumlah Rp. 572 triliun lebih.

2.1.2. Kinerja Rentabilitas Perbankan

Rentabilitas merupakan kemampan bank dalam mencetak keuntungan dari usaha yang dijalankannya. Indikator utama yang dapat digunakan dalam mengukur kinerja rentabilitas perbankan adalah rasio Return on Asset (ROA), rasio Biaya Operasional dengan Pendapatan Operasional (BOPO), dan Net Interest Margin (NIM).

2.1.2.1. Return on Asset

Rasio pertama yang dapat dijadikan alat ukur kinerja perbankan adalah Return on Asset (ROA) yang menunjukkan besarnya laba terhadap aset yang dimiliki bank. Pada grafik dibawah ini ditunjukkan bahwa dalam periode tahun 2005 s.d. 2010, ROA bank umum berada pada kisaran 2.3% s.d. 2.9%. Pergerakan ROA selama kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir memperlihatkan pergerakan yang cukup stagnan.

2.1.2.2. Biaya Operasional Pendapatan Operasional

Meninjau kepada rasio Biaya Operasional dan Pendapatan Operasional (BOPO) Bank Umum periode tahun 2005 s.d. 2011 berada pada kisaran diatas 85%. Hal ini memperlihatkan bahwa efisiensi operasional masih relatif rendah. Faktor yang mempengaruhi tingginya BOPO antara lain adalah inefisiensi pada kegiatan operasional bank, yang mana dalam konteks mamajemen risiko, masih marak terjadi kejadian risiko operasional yang merugikan bank. Disamping itu, perlu mendapatkan pengkajian yang lebih mendalam mengenai komponen-komponen baik Biaya maupun Pendapatan Operasional itu sendiri.

2.1.2.3. Net Interest Margin

Indikator keuangan terakhir yang digunakan adalah Net Intereset Margin (NIM) yang menunjukkan margin keuntungan yang dimilliki bank. Dalam mencermati data ini, harus dilihat dari dua sisi. Pertama adalah sisi profitabilitas bank yang tentunga semakin tinggi NIM maka semakin baik profitabilitasnya. Namun sisi kedua adalah bahwa NIM yang tinggi dapat pula menunjukkan bahwa bank kurang efisien dalam menentukan tingkat suku bunga, sehingga pada ujungnya mengganggu optimalisasi fungsi sebagai intermediasi.

2.2. Kejadian Tindak Pidana Perbankan

Selain kepada indikator-indikator keuangan sebagaimana diuraikan pada sub-bagian sebelumnya, fenomena industri perbankan dalam konteks manajemen risiko ini perlu dilihat dari catatan-catatan kejadian risiko operasional yang ada. Berikut adalah beberapa catatan kejadian yang cukup signifikan bagi dunia perbankan Indonesia.

Seperti dikutip dari Media Indonesia bahwa aksi kejahatan bank saat nin semakin menjadi-jadi. Menurut catatan sejarah bahwa setidaknya pada tahun 2007-2010 terjadi 15.097 kasus dengan kerugian Rp. 42 triliun, yang mana bila dirata-ratakan terjadi 10 kali tindak kejahatan setiap harinya.

Kasus perbankan yang akhir-akhir ini muncul adalah skandal pembobolan di Citibank sebesar Rp17 miliar oleh salah senior relationship manager-nya. Selain itu pembobolan di bank Mega, terhadap rekening milik PT Elnusa sebesar Rp111 miliar, juga milik Pemerintah Kabupaten Batubara, Sumatra Utara, sebanyak Rp80 miliar.

Belum lagi kasus-kasus tersebut tuntas, terbetik kabar kasus serupa juga terjadi di Bank CIMB Niaga Kasus pembobolan di Bank CIMB Niaga dilakukan dengan modus memalsukan surat/dokumen sebagai persyaratan dalam pengajuan kredit, sampai kredit sebesar Rp234 miliar dapat dicairkan.

III. ANALISA DAN PEMBAHASAN


3.1. Regulasi Manajemen Risiko Bank

Dalam rangka menerapkan manajemen risiko ke dalam sistem perbankan di Indonesia, Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa regulasi, antara lain:

a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Perubahan atas PBI No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
b. Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
c. Surat Edaran No.5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.

Merujuk kepada regulasi dari Bank Indonesia, bahwa risiko didefinisikan sebagai “potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian Bank”.

Sedangkan manajemen risiko didefinisikan sebagai “serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank”.

Dengan demikian, mengacu kepada regulai tersebut maka bank harus menerapkan serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, memantau dan mengendalian potensi yang dapat merugikan kegiatan usaha bank. Pada pendefinisian ini terdapat penekanan bahwa risiko merupakan kerugian bank.

3.2. Roadmap Penerapan Manajemen Risiko Bank Indonesia

Sebagaimana kita ketahui bahwa regulasi mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum yang dikeluarkan dengan Peraturan Bank Indonesia nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 untuk diterapkan oleh bank umum mulai dari tahun 2004. Dengan demikian dapat diartikan bahwa sejak tahun 2004 bank-bank umum di Indonesia telah dilengkapi oleh fungsi manajemen risikio.

Namun demikian melihat bahwa fenomena riil yang terjadi dengan memperhatikan indikator-indikator kinerja sebagaimana diuraikan di atas, yaitu indikator kinerja fungsi intermediasi dan probabilitas menunjukkan perubahan yang tidak signifikan. Bahkan apabila dicermati dari kejadian-kejadian risiko operasional berupa kejahatan atau tindak pidana perbankan justru semakin marak terjadi di perbankan tanah air.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelaahan di atas mengenai kinerja produktivitas dan efisiensi perbankan dalam persepsi manajemen risiko, penulis merumuskan suatu rekomendasi yang terbagi ke dalam 2 (dua) kategori yaitu penerapan manajemen risiko secara fisik dan penerapan manajemen risiko secara non fisik. Penerapan manajemen risiko secara fisik bekaitan dengan adanya kebijakan, infrastruktur, dan metodologi. Sedangkan penerapan manajemen risiko secara non-fisik lebih cenderung kepada pembangunan kesadaran dan budaya yang pada akhirnya berujung kepada niat dari setiap stakeholder untuk menerapkan manajemen risiko sebaik-baiknya.

4.1. Penerapan Manajemen Risiko Fisik

4.1.1. Permodalan Bank Berbasis Risiko

Sebagaimana perkembangan penerapan manajemen risiko menurut Basel Accord bahwa bank harus dapat mengalokasikan modal sesuai dengan tingkat risiko yang dihadapinya masing-masing. Dengan kata lain, bahwa modal antara bank satu dengan bank lainnya dimungkinkan berbeda karena karakteristik eksposur risiko yang melekat pada aktivitas bisnis keduanya berbeda-beda pula.

Dengan menerapkan alokasi modal berbasis risiko maka bank dimungkinkan akan mendapatkan insentif. Insentif tersebut berupa efisiensi modal yang ada saat ini menjadi lebih kecil karena alokasi modal akan bergantung dari besar kecilnya eksposur risiko masing-masing bank.

Lebih jauh mengenai alokasi modal berbasis risiko ini dapat digunakan untuk mengukur kinerja berbasis risiko. Dengan metode ini, setiap Strategik Business Unit (SBU) akan mendapatkan alokasi modal berdasarkan eksposur risiko yang melekat pada masing-masing SBU tersebut, dan ukuran kinerja dilakukan dengan membandingkan profit dengan modal yang dialokasikan tersebut. Dengan hal ini, diharapkan kinerja bank secara keseluruhan akan terdorong semakin baik, dan pada akihrnya kinerja industri perbankan juga akan semakin optimal.

4.1.2. Kecukupan Pengawasan Bank Indonesia

Hal selanjutnya yang harus diupayakan adalah penyempurnaan dalam hal fungsi Bank Indonesia sebagai regulator bank itu sendiri. Hal ini sangat penting untuk tetap menjaga bisnis perbankan berada pada koridor regulasi yang sesuai dengan arah yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Namun demikain hal yang paling penting dari fungsi Bank Indonesia sebagai regulator ini adalah bagaimana menjaga prinsip keadilan dan independensi dari kepentingan-kepentingan yang justru mengganggu pengambilan keputusan Bank Indonesia dalam menjalankan regulasi tersebut.

4.1.3. Prinsip Transparansi

Prinsip ketiga yang harus dilaksanakan oleh Bank Indonesia dan segenap pelaku perbankan adalah transparansi. Setiap bank sesuai dengan pilar 3 Basel II Accord harus melaksanakan transparansi informasi kepada publik. Namun di sisi lain Bank Indonesia pun harus secara transparan dapat mempublikasikan segala langkah kebujakan yang diambil baik dari sisi penetapan kebijakan hingga proses penyelamatan terhadap bank-bank yang bermasalah. Dengan penerapan prinsip ini diharapkan bahwa terjadi kondisi yang kondusif sehingga masyarakat sebagai stakeholder terpenting dapat terjaga rasa kepercayaannya terhadap sistem perbankan Indonesia.

4.2. Penerapan Manajemen Risiko Non Fisik

Sebagai penutup penulis hendak mengulas hal terpenting dalam penerapan manajemen risiko, diatas seluruh infrasutruktur, kebijakan, dan metodologi yang semakin sophisticated saat ini terutama di Indonesia, yakni niat yang penuh untuk benar-benar menerapkan praktik manajemen risiko, bukan menjadikan manajemen risiko sebagai suatu issue kepatuhan sehingga menjadi ritual belaka.

Dengan niat yang sepenuh hati dari seluruh stakeholder, akan senantiasa menciptakan sistem perbankan yang kokoh, meminimalisis kejadian-kejadian risiko yang disebabkan terutama oleh risiko operasional yang mentrigger risiko lainnya seperti risiiko kredit, risiko likuiditas, maupun risiko lainnya.

Pada akhirnya, dengan menerapkan manajemen risiko dengan niat yang kuat ini, akan tercipta produktivitas dan efisiensi bank yang semakin baik guna mendiring kinerja perbankan Indonesia yang semakin optimal dari waktu-ke-waktu.

Save the earth for our inheritors: do not print unless necessary.

Image taken from: http://www.ehow.com/facts_7708564_target-benefits-banking-industry-analysis.html

0 comments:

Post a Comment

Visitors are coming from

free counters

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys