Wednesday, May 4, 2011

Optimalisasi Efektivitas Organisasi menggunakan Manajemen Konflik

Abstraksi

Konflik dalam organisasi seringkali dihindari atau bahkan menjadi hal yang sangat dilarang dalam sebuah organisasi. Namun demikian konflik organisasi merupakan hal yang senantiasa lumrah terjadi pada dinamika sebuah organisasi. Tulisan ini mengulas bagaimana konflik dapat dikelola dalam organisasi dan apakah benar konflik merupakan hal yang harus dihindari dan bahkan dihilangkan, serta bagaimana pengaruhnya terhadap efektifitas sebuah organisasi.

RUMUSAN KONSEP
 
Gareth (2007) menyatakan bahwa organisasi merupakan sebuah sarana yang digunakan oleh sekumpulan individu untuk mengkoordinasikan upaya mereka dalam hal pencapaian tujuan bersama. Ukuran organisasi sangat beragam, mulai dari organisasi kecil, hingga dengan organisasi berukuran raksasa seperti halnya organisasi dalam sebuah perusahaan besar. Semakin besar ukuran sebuah organisasi, maka semakin tinggi pula tingkat kompleksitas serta dinamika yang terjadi di dalamnya.
Sebuah organisasi, terutama yang berskala besar, walaupun telah dibentuk bersama, dengan tujuan yang juga telah disepakati bersama, tidak akan terhindar dari konflik yang terjadi di dalam tubuhnya. Hal ini dapat terjadi di semua komponen “building block” sebuah organisasi, baik pada tingkatan antar divisi, antar unit, hingga tingkatan antar individu dalam organisasi.
Dalam berbagai literatur populer dalam ilmu manajemen saat ini, konteks pembahasan teori mengenai keunggulan daya saing sering kali lebih cenderung membahas mengenai kompetensi organisasi, sumber daya, pemasaran, kontinuitas pasokan, dan lain sebagainya. Seringkali tidak disadari, terutama dikalangan para praktisi dalam perusahaan, bahwa ada suatu faktor yang tidak kalah penting dan bahkan sangat mempengaruhi kesuksesan sebuah organisasi dalam menciptakan efektifitas dan keunggulan daya saing, yakni konflik serta bagaimana cara mengelolanya.
Atas dasar hal tersebut, penulis tertarik untuk mengulas mengenai adanya faktor konflik dalam sebuah organisasi, serta bagaimana konflik dapat berpengaruh terhadap penciptaan keunggulan daya saing suatu organisasi, sehingga organisasi perlu untuk melakukan pengelolaan terhadap konflik di dalam tubuhnya guna mengoptimalisasi efektifitas dalam mencapai tujuannya.

Konflik dalam Organisasi

Istilah konflik seringkali dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Dengan terjadinya konflik, maka sebuah organisasi akan sulit untuk mencapai tujuannya karena tercipta ketidak-harmonisan antar komponen dalam organisasi tersebut. Dengan alasan ini, konflik merupakan hal yang paling dihindari dalam dinamika sebuah organisasi.
Konflik organisasi didefinisikan oleh Gareth (207) sebagai sebuah perselisihan atau pertentangan yang merupakan akibat dari adanya upaya pencapaian tujuan suatu komponen organisasi yang menjadi hambatan bagi pencapaian tujuan komponen lainnya. Penyebab konflik bisa bermacam-macam, mulai dari alasan individu karena adanya persaingan untuk menjadi yang terdepan dalam promosi dan karir, hingga cakupan lebih luas seperti pertentangan antara dua unit kerja atau divisi yang berbeda fungsi.
Menurut Pondy’s Model, kejadian konflik dapat diketegorikan ke dalam lima fase konflik, yakni :
a.      Latent conflict, yakni fase dimana konflik belum terjadi namun telah ada potensi terjadinya konflik di masa yang akan datang.
b.      Perceived conflict, yakni fase dimana konflik telah terindikasi karena dirasa adanya aksi dari komponen organisasi lain yang mulai menghambat pencapaian komponen organisasi lainnya
c.       Felt conflict, yakni fase dmana konflik telah dirasakan dan telah terdorong dengan faktor emosional.
d.      Manifest conflict, yakni fase dimana konflik telah benar benar terjadi, baik konflik langsung, misalnya konfrontasi secara terbuka, maupun konflik tertutup, seperti upaya menghilangkan dukungan terhadap komponen organisasi yang menjadi lawannya
e.      Conflict aftermath, yakni fase setelah kejadian konflik. Namun pada fase ini konflik bisa terselesaikan, dan bisa juga tidak terselesaikan sehingga kemungkinan terjadi kembali di masa yang akan datang.
Dengan mengamati model tersebut, penulis berpendapat pada konteks konflik organisasi, maka dimana ada fase, dapat dipastikan adanya unsur waktu (time) sebagai salah satu variabal yang  mempengaruhi konflik organisasi.

Sumber Potensial Konflik

Terjadinya konflik dalam sebuah organisasi terutama disebabkan oleh adanya kepentingan yang berbeda dari dua atau lebih komponen organisasi akan sumber daya yang sama yang dihasilkan oleh organisasi. Sumber daya utama yang dimaksud dalam konteks ini adalah menyangkut aspek kesejahteraan pada masing-masing komponen yang terlibat.
Seperti kita ketahui bersama bahwa setiap komponen yang tergabung dalam organisasi tentunya memiliki tujuan agar dengan tergabungnya ke dalam organisasi maka kesejahteraannya akan lebih baik, dengan kata lain setiap komponen membawa tujuannya masing-masing ke dalam organisasi. Hal sederhana yang menunjukkan pernyataan ini adalah kompetisi dalam pencapaian karir antar individu dalam organisasi. Sumber daya yang diperebutkan tentunya adalah reward yang dihasilkan oleh organisasi tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, dapat kita ambil sebuah contoh yaitu konflik antar unit atau divisi dalam organisasi. Dalam sebuah organisasi bisnis yang besar, pada umumnya terdapat diferensiasi antara fungsi bisnis dengan fungsi pengendalian internal. Kedua fungsi bisnis tersebut jelas memiliki kepentingan yang berbeda akan penilaian kinerja keduanya. Fungsi bisnis sudah tentu akan mengejar pencapaian target bisnisnya, sedangkan fungsi pengendalian internal pada umumnya lebih fokus untuk menjaga keberlangsungan organisasi dengan meningkatkan unsur kehati-hatian yang terkadang dirasakan sebagai penghambat bagi fungsi bisnis. Bahkan antar fungsi bisnis pun dapat terjadi konflik, misalnya karena keterbatasan sumber daya atau modal insani sehingga antar kedua fungsi bisnis dapat memperebutkan sumber daya yang tersisa.

Strategi Peredam Konflik

Menurut Gareth (2007) terdapat dua strategi yang dapat digunakan untuk meredakan konflik organisasi. Strategi pertama adalah dengan melakukan tindakan pada tingkat struktural. Strategi ini melakukan pendekatan berupa perubahan pada konsep integrasi dan diferensiasi sebuah organisasi. Konflik antar komponen organisasi dapat diredam dengan cara melakukan penyesuaian terhadap tingkat diferensiasi dan integrasi, misalnya dengan cara peleburan dua komponen yang tengah berada dalam konflik sehingga tujuan dari kedua komponen organisasi tersebut menjadi sama. Dengan demikian sumber konflik dapat dihilangkan.
Strategi kedua dalam peredaman konflik adalah upaya yang dilakukan pada tingkat individual. Dalam strategi ini pendekatan lebih kepada upaya untuk mempersatukan pandangan antara dua atau lebih komponen yang tengah dalam kondisi konflik. Dalam hal ini perlu diciptakan keterbukaan dan ketersediaan untuk saling mendengarkan cara pandang komponen organisasi lain yang sedang berselisih. Kedua upaya ini memiliki karaktristik dan kompatibilitas yang berbeda untuk masing-masing kondisi konflik pada organisasi. 

MODEL TEORITIK  

Pengaruh Konflik dalam Organisasi

Kembali kepada konsep dasar organisasi bahwa sebuah organisasi mempunyai tujuan utama yaitu menciptakan keunggulan daya saing, salah satu indikatornya adalah efektifitas organisasi tersebut. Salah satu contoh sederhana dalam meningkatkan efektifitas organisasi adalah meningkatkan kompetensi komponen di dalamnya, misalnya kemampuan individu yang tergabung dalam organisasi. Dengan adanya konflik berupa kompetisi, maka akan memicu para individu untuk meningkatkan kemampuannya dan pada akhirnya akan memberikan dampak yang baik bagi organisasi. Hal ini dinamakan good conflict. Namun demikian ada pula komflik yang justru dapat membawa keterpurukan bagi organisasi, misalnya konflik yang disebabkan oleh dua cara pandang yang berbeda antar manager sehingga membuat pengambilan keputusan strategis menjadi sangat lama. Hal ini tentunya berakibat buruk bagi organisasi.
Dari kedua contoh sederhana tersebut, dapat dilihat bahwa hadirnya konflik dalam dinamika sebuah organisasi dapat membawa kebaikan bagi organisasi. Bahkan konflik seperti ini sangat dibutuhkan untuk kelangsungan organisasi untuk bertahan didalam lingkungannya, mengingat dinamika pasar mendorong organisasi untuk senantiasa berubah menjadi lebih baik.
Gareth merumuskan sebuah hubungan antara konflik dengan efektifitas organisasi bukan sebagai suatu hubungan linier, melainkan hubungan parabolik. Dimana terdapat titik optimum untuk mempertahankan tingkat konflik (X) sehingga efektifitas organisasi (Y) tercapai secara maksimal.
 Dari model sederhana di atas dapat diketahui bahwa objective-nya adalah memaksimalkan efektifitas organisasi, namun pertanyaannya adalah bagaimana menciptakan serta mempertahankan konflik pada tingkat yang optimal.

Optimalasi Konflik

Organisasi dengan tingkat konflik yang rendah pada umumnya akan bersifat statis, tidak mengalami perkembangan, dan pada akhirnya akan mengalami kesulitan menghadapi lingkungan eksternal yang senantiasa berubah. Namun demikian, organisasi dengan tingkat konflik yang terlalu tinggi juga menimbulkan bahaya bagi kelangsungan organisasi tersebut, antara lain pengambilan keputusan yang terlambat, kegagalan dalam pencapaian tujuan organisasi, atau bahkan pembubaran organisasi tersebut.
Merujuk kepada model yang telah diulas di atas, bahwa konflik memiliki fase-fase tertentu dalam perkembangannya. Manajemen organisasi harus mengenali kondisi aktual yang tengah terhadi di dalam organisasinya. Bila dirasakan organisasi sedang berada dalam kondisi konflik yang rendah atau bahkan tidak ada konflik sama sekali, maka konflik harus diciptakan. Sedangkan apabila konflik telah tercipta, maka harus dilakukan pengelolaan agar tingkat konflik berada pada tingkatan yang optimal dengan cara meningkatkan ataupun menurunkannya.

 
 Penciptaan Konflik

Organisasi harus mampu melakukan indentifikasi terhadap sumber-sumber potensial konflik dan sifat konflik terhadap pencapaian tujuan organisasi. Konflik dapat pula diciptakan atas dasar adanya ketidak seimbangan kekuatan yang ada pada organisasi. Dengan adanya konflik, akan memicu timbulnya perubahan sehingga memngkinkan kekuatan yang semula terpusat menjadi kembali tersebar dan menciptakan kembali keseimbangan dalam organisasi.
Penciptaan konflik yang paling popular berupa kompetisi antar individu atau unit kerja dalam organisasi. Dengan adanya kompetisi maka kinerja komponen-komponen organisasi tersebut dapat senantiasa terpacu. Aspek kedua dalam penciptaan konflik adalah penyesuaian terhadap tingkat diferensiasi dalam perancangan struktur organisasi. Manajemen dapat menciptakan diferensiasi atau integrasi dalam struktur sebuah organisasi.
Aspek lainnya yang cukup menarik dalam penciptaan konflik adalah menciptakan keterbatasan dalam sumber daya. Sebagai contoh, sumber daya berupa tenaga pemasaran dalam fungsi bisnis penjualan produk. Unit-unit bisnis akan saling berebut tenaga pemasaran yang ada, namun disisi lain akan membuat pada manager pada unit bisnis tersebut memikirkan strategi bagaimana melakukan efisiensi penggunaan sumber daya tersebut, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan tingkat efisiensi penggunaan sumber daya secara keseluruhan organisasi tersebut.

Peningkatan Konflik
 
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa konflik dalam organisasi terjadi karena adanya aksi atau tindakan yang dilakukan oleh suatu komponen organisasi yang berdampak menghambat bagi komponen organisasi lainnya. Dengan kata lain, konflik biasanya terjadi karena adanya kepentingan yang berbeda antar komponen dalam organisasi. Namun demikian, perlu diingat bahwa konflik seperti ini belum pasti memberikan dampak buruk bagi organisasi.
Manajemen sebuah organisasi harus cermat dalam menilai tingkat konflik yang tengah terjadi dalam organisasi, apabila konflik tersebut masih berada pada level yang rendah maka konflik tersebut ditingkatkan sampai ke tingkat yang optimal.
Beberapa aspek konflik yang dapat digunakan sebagai instrument dalam memicu peningkatan konflik antara lain adalah:
a.       Kompetisi antar komponen internal.
b.      Keterbatasan sumber daya.
c.       Diferensiasi fungsional komponen organisasi.
Ketiga contoh instrument pemicu konflik tersebut diatas harus senantiasa dikelola dengan baik sehingga dapat menjadi pendorong terciptanya konflik di dalam sebuah organisasi.

Pengurangan Konflik

Selain harus mengelola aspek-aspek pemicu konflik, manajemen sebuah organisasi juga harus mengelola dan melaksanakan strategi-strategi peredaman konflik. Aspek-aspek peredam konflik tersebut antara lain adalah:
a.       Integrasi fungsional komponen organisasi.
b.      Memperbaiki keterbukaan cara pandang.
c.       Meningkatkan kepercayaan antar komponen organisasi.

 Model Teoritik 


Diagram diatas menggambarkan sebuah model hubungan antara efektivitas dan tingkat konflik, serta bagaimana faktor-faktor pemicu dan peredam konflik bekerja untuk memberikan adjustment pada tingkat konflik yang terjadi dalam organisasi, sehingga tercapai efektivitas organisasi yang maksimal. Kedua faktor tersebut, pemicu dan peredam konflik, harus bekerja secara selaras untuk menjaga tingkat konflik berada pada kondisi yang optimal.

KONSEKUENSI MANAJERIAL  

Identifikasi Konflik

Manajemen organisasi haris dapat mengidentifikasi konflik baik yang telah terjasi maupun yang belum terjadi atau yang masih berbentuk potensi. Dengan indentifikasi yang mencukupi, akan memungkinkan organisasi untuk melakukan tindakan antisipatif maupun tindakan reaktif.
Konflik yang dinilai akan membawa dampak buruk bagi organisasi dapat dihindari sehingga tidak terjadi di masa yang akan datang. Namun apabila ditengarai ada potensi konflik yang dinilai bisa membawa dampak yang baik, maka organisasi dapat menciptakan konflik tersebut.
Sumber-sumber konflik akan berbeda dari satu organisasi dengan organisasinya, tergantung antara lain kepada kompleksitas, tujuan, serta bidang aktivitas yang dijalankan oleh organisasi tersebut. Mengingat hal tersebut, akan sangat dbutuhkan kecerdikan dan pengalaman manajemen organisasi untuk dapat melakukan identifikasi terhadap konflik yang ada dalam organisasi tersebut.


Pengukuran Konflik

Setelah konflik, sumber konflik, serta peredam konflik telah teridentifikasi secara komprehensif, maka organisasi harus senantiasa mampu melakukan pengukuran terhadap aspek-aspek manajemen konflik tersebu. Tanpa pengukuran yang baik, akan sulit bagi organisasi untuk mengambil tindakan dalam rangka mengatur tingkat konflik yang optimal.
Pengukuran konflik seringkali sulit dilakukan menggunakan metode kuantitatif, mengingat pengukuran jenis ini membutuhkan landasan berupa data atau angka, sedangkan konflik pada umumnya bersifat sesuatu yang abstrak dan sulit diukur secara kuantitatif. Mengingat hal ini, metode yang digunakan seringkali berupa metode kualitatif. Namun demikian, dalam hal pengukuran atas konflik yang tengah terjadi, yang paling dibutuhkan adalah independensi didalam prosesnya. Hal yang harus dihindari adalah adanya penilaian yang masih bersifat subjektif yang dapat dikarenakan adanya unsur konflik yang sedang diukur mempengaruhi orang yang bertugas melakukan pengukuran atas konflik.

Pemantauan Konflik

Langkah ketiga yang harus dilakukan dalam manajemen organisasi adalah melakukan pemantauan terhadap perkembangan yang terjadi dari konflik tersebut. Mengingat sebuah organisasi merupakan suatu hal yang bersifat dinamis, konflik yang terjadi didalamnya pun dapat dengan cepat berkembang dan mengalami perubahan.
Oleh karena itu, pemantauan terhadap konflik harus dilakukan secara terus menerus, guna mengantisipasi terjadinya konflik yang terlanjur sulit untuk dikendalikan.

Pengendalian Konflik
Sebagaimana diuangkapkan oleh Gareth (2007) bahwa untuk meraih efektivitas organisasi yang maksimal, organisasi harus mengelola konflik sebagaimana hingga konflik tersebut berada pada tingkat tertentu yang justru dapat mendorong efektivitas organisasi.
Pengendalian konflik yang banyak dilakukan dapat dikategorikan menjadi pengendalian yang bersifat fisik yang dikenal dengan hard-control serta pengendalian yang bersifat non-fisik soft-control. Pengendalian hard-control dapat berupa kebijakan yang ditetapkan dalam perusahaan dan harus dipatuhi oleh seluruh jajaran organisasi, sedangkan pengendalian yang bersifat soft-control lebih cenderung kepada upaya persuasif dalam upaya pengendalian. Pengendalian jenis ini antara lain dapat mendorong saling keterbukaan cara pandang antar komponen organisasi yang ada.
Sebuah contoh pengendalian berupa kebijakan adalah untuk menciptakan persaingan dalam organisasi, terutama dalam hal pencapaian reward. Model ini digunakan sebagaimana layaknya sebuah kejuaraan olahraga, dimana para atlet bersaing, berlatih keras, meningkatkan kemampuan dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencapai prestasi yang pada akhirnya akan menjadi timbal balik bagi atlet tersebut berupa penghargaan piala juara dan hadiah-hadiah lainnya. Hal ini hanya dapat diterapkan dalam organisasi menggunakan hard-control berupa kebijakan organisasi.

REFERENSI

Jones, Gareth R. (2007). Organizational Theory, Design, and Change: Fifth Edition. Pearson Education, Inc.
Clark, Peter (2000). Organisation in Action: Competitive between Context. Routledge.
Bolman, Lee G. (2008). Reframing organizations : artistry, choice, and leadership. John Willey & Sons.

 
 
 

 

0 comments:

Post a Comment

Visitors are coming from

free counters

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys